“Gejolak Politik: DPR vs MK, Kegagalan Anies, dan Kekalahan PDIP”

Jakarta, VIVA – Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2024 merupakan momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pilkada pada tahun itu merupakan yang terbesar sepanjang sejarah: dilaksanakan di ratusan daerah, diikuti ribuan pasangan kandidat, jumlah pemilih yang mencapai ratusan juta orang, dan pemilihannya serentak pada hari dan tanggal yang sama.

Baca Juga :


Omongan Megawati soal PDIP Diawut-awut Terbukti, Sopir Maut Bus SMP Bogor jadi Tersangka

Begitu besarnya hajatan pilkada itu merupakan konsekuensi dari pengesahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengharuskan seluruh pemilihan kepala daerah mulai tahun 2024 dilaksanakan pada tanggal yang sama. Konsekuensinya adalah kepala daerah yang terpilih pada tahun 2017 dan 2018 akan digantikan oleh penjabat yang ditunjuk oleh pemerintah pusat setelah masa jabatannya berakhir hingga terlaksananya pemilu tahun 2024. Selain itu, pemimpin daerah yang terpilih pada tahun 2020 hanya akan menjabat kurang dari lima tahun penuh, berkisar antara tiga hingga empat tahun.

Proses politik yang berkembang sepanjang kontestasi itu juga sangat dinamis, tidak hanya karena sengitnya persaingan tetapi juga berkaitan erat dengan hasil Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada 14 Februari 2024. Putusan MK yang mengejutkan pada awal tahapan Pilkada memorak-porandakan tatanan politik yang telah lama dibangun.

Isu campur tangan kekuasaan dan aparatur negara dalam proses politik di daerah juga menjadi perhatian. Pilkada, sebagai sarana untuk pemilihan pemimpin lokal, dipengaruhi oleh kepentingan politik nasional. Narasi “keberlanjutan” pemerintahan nasional pada Pemilu diikuti dengan narasi “keseragaman” antara pemerintahan nasional dan lokal pada Pilkada, terutama di daerah-daeerah dengan kota-kota besar seperti di Pulau Jawa, termasuk Jakarta.

Pilkada Jakarta menjadi sorotan publik nasional dengan pertarungan antara pemenang dan kalah dalam Pemilu Presiden. Meskipun pilkada berjalan kondusif, banyak catatan negatif seperti daerah dengan calon tunggal, partisipasi pemilih rendah, dan tingkat golput tinggi. Beberapa daerah juga mengalami masalah seperti kandidat tersandung pelanggaran hukum atau kasus korupsi. Ada kandidat lain yang meninggal dunia akibat kecelakaan tragis dan posisinya digantikan oleh istrinya. DPR ingin membatalkan putusan MK yang menuai gelombang demonstrasi.

Pada 20 Agustus, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengubah syarat usia calon yang harus dihitung sejak penetapan oleh KPU–bukan sejak pelantikan–dan membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah.

Putusan pertama, pada Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, disebutkan bahwa calon gubernur atau calon wakil gubernur berusia paling rendah 30 tahun dan MK menyatakan persyaratan tersebut harus dipenuhi sebelum penetapan paslon, bukan sejak pelantikan.

Putusan kedua, MK membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan yang membatasi parpol dan gabungan parpol dalam mengusulkan calon, dan mengubah ambang batas pencalonan sesuai dengan jumlah penduduk daerah.

Baca juga: Tok! Komisi II DPR Setujui PKPU Pilkada yang Akomodasi Putusan MK

Sebelumnya pada Pasal 40 Ayat (3) UU Pilkada disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dan ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.

MK menyatakan ketentuan itu sebagai inkonstitusional bersyarat dan MK kemudian menyatakan bahwa persyaratan pengajuan pasangan calon di pilkada berdasarkan perolehan suara sah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Putusan itu, ringkasnya, syarat pencalonan bagi partai politik atau gabungan partai politik menjadi lebih ringan, tidak lagi harus sebesar 25 persen, yang konsekuensinya pula membuka kesempatan dan peluang lebih banyak pasangan calon yang muncul dalam pilkada.

Sehari setelah putusan MK, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengajukan revisi UU Pilkada, yang pada pokoknya ingin menganulir putusan MK. Sebanyak 8 fraksi di DPR dan pemerintah setuju terhadap revisi Undang-Undang Pilkada dan hanya Fraksi PDIP yang menyatakan tidak sependapat.

Keputusan Baleg DPR yang berencana merevisi Undang-Undang Pilkada dan mengabaikan putusan MK memicu protes dari berbagai elemen masyarakat. Media sosial segera diramaikan unggahan berlatar biru bergambar Garuda Pancasila putih dengan latar belakang warna biru dan tulisan “Peringatan Darurat” dipadu suara sirine tanda kedaruratan.

Sehari kemudian gelombang demonstrasi digelar di sejumlah daerah dengan “target” unjuk rasa di antaranya di kantor DPR, DPRD, dan kantor pemerintahan. Pada hari yang sama, DPR urung mengesahkan revisi UU Pilkada setelah rapat paripurna tidak memenuhi kuorum–dihadiri hanya 89 orang dari total 575 anggota DPR dari 9 fraksi partai politik yang ada di parlemen.

Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota, KPU akhirnya menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2024 tentang pencalonan dalam Pilkada 2024. Keputusan itu, berdasarkan rapat konsultasi antara KPU dan Komisi II DPR, mengakomodasi putusan MK.

2. Dinamika Jakarta: Anies gagal berlayar, Ridwan Kamil hijrah untuk kalah, Pramono juara

Mantan calon gubernur Jakarta Anies Baswedan gagal berlayar alias maju lagi dalam kontestasi politik ibu kota setelah tak ada partai politik yang bersedia mengusungnya hingga masa pendaftaran berakhir pada Kamis dini hari, 29 Agustus. Meski sempat ditawari PDIP untuk maju sebagai calon gubernur Jawa Barat, Anies menolaknya.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebetulnya sejak setelah Pemilu Presiden telah mengisyaratkan mengusung Anies. Namun, sebelum putusan MK tentang ambang batas pencalonan diterbitkan, persyaratan yang dimiliki PKS untuk mengusung Anies tak cukup, sementara upaya menjalin koalisi dengan PKB kandas.

PKS lantas mengajukan kadernya, Suswono, untuk dipasangkan dengan Ridwan Kamil yang telah memutuskan hijrah arena kontestasi dari Jawa Barat ke Jakarta. PKB dan Demokrat pun ikut bergabung mendukung Ridwan Kamil-Suswono bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus.

Baca juga: Ono Surono PDIP: Mulyono dan Geng Tak Menghendaki Anies Diusung di Jawa Barat

Anies sempat memiliki peluang untuk maju setelah digadang-gadang akan diusung oleh PDIP dan dipasangkan dengan Rano Karno sebagai wakil gubernur. PDIP pada akhirnya memutuskan untuk mengusung Pramono Anung sebagai kandidatnya, dan memasangkan dia dengan Rano Karno. Pada Pilkada Jakarta, pasangan calon yang ikut serta adalah Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno. Meskipun awalnya elektabilitas Pramono Anung-Rano Karno rendah, namun seiring waktu, mereka berhasil meningkatkan elektabilitas mereka. Sementara itu, elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono tergerus karena beberapa candaan yang kontroversial. Upaya untuk mendongkrak elektabilitas Ridwan Kamil dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo.

Pramono-Rano mendapatkan dukungan dari pendukung mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Pada akhirnya, KPU Jakarta menetapkan Pramono Anung-Rano Karno sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta. Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana tidak menggugat hasil tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga, Pramono-Rano dijadwalkan untuk dilantik pada 7 Februari 2025.

Di Banten, Airin Rachmi Diany didukung oleh PDIP sebagai bakal calon gubernur, namun Golkar memberikan dukungan kepada pasangan calon lain. Setelah desakan dari Ketua Umum PDIP, Golkar mengubah keputusannya dan mendukung Airin. Meskipun didukung dua partai besar dan memiliki modal besar, elektabilitas Airin tidak terangkat dan pasangannya kalah dalam Pilkada Banten. Airin-Ade memutuskan untuk tidak menggugat hasil Pilkada Banten ke Mahkamah Konstitusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *