Selasa, 24 Desember 2024 – 22:42 WIB
Jakarta, VIVA – Kenaikan PPN menjadi 12 persen oleh pemerintah dengan mengecualikan pengenaannya terhadap barang-barang atau bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, merupakan kebijakan yang dinilai pro rakyat.
Sebab, negara lain seperti misalnya Vietnam bahkan memberlakukan PPN sebesar 5 persen untuk bahan makanan, sementara Indonesia masih membebaskan PPN itu untuk tidak dikenakan pada bahan makanan.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan, kenaikan PPN menjadi 12 persen dianggap tinggi oleh sebagian masyarakat, meskipun dampaknya terhadap harga barang secara keseluruhan diperkirakan hanya sekitar 0,9 persen.
“Hal ini relatif kecil karena barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, sayur, dan susu tetap dibebaskan dari PPN,” kata Josua saat dihubungi VIVA, Selasa, 24 Desember 2024.
Dia menjelaskan, sistem PPN di Vietnam dan Indonesia memiliki beberapa perbedaan utama. Vietnam menerapkan tarif PPN standar sebesar 10 persen, yang saat ini dikurangi menjadi 8 persen untuk barang tertentu hingga Juni 2025.
Selain itu, tarif PPN 5 persen juga diberlakukan Vietnam untuk barang dan jasa esensial seperti air bersih, bahan makanan, pakan ternak, dan perumahan rakyat, sementara tarif 0 persen diterapkan untuk ekspor.
Sebaliknya, Indonesia menetapkan tarif PPN single rate sebesar 12 persen mulai 2025, namun dengan pengecualian untuk barang dan jasa kebutuhan pokok seperti bahan makanan, pendidikan, dan sektor kesehatan yang juga dibebaskan dari PPN alias 0 persen.
“Indonesia juga memiliki batasan omzet pengusaha wajib PPN (PKP) yang jauh lebih tinggi, yaitu Rp 4,8 miliar per tahun dibandingkan dengan Rp 63 juta per tahun seperti di Vietnam. Transparansi dalam fasilitas perpajakan juga lebih terlihat di Indonesia, dengan nilai insentif PPN dipublikasikan mencapai Rp 265,6 triliun pada 2025,” ujarnya.
Dia mengatakan, kenaikan PPN sering kali terjadi di negara-negara dengan pendapatan per kapita tinggi.